Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau dapat disingkat UUPK. UUPK ini memuat aturanaturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Adapun tujuan dari UUPK
sendiri yang termuat pada Pasal 3 yang pada intinya adalah meningkatkan
kesadaran konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat
konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum, dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha.
Pengertian konsumen
menurut UUPK, adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan istilah
produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris
producer yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian yuridis, istilah
produsen disebut dengan pelaku usaha. Batasan mengenai yang dimaksud dengan
pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3 UUPK.
UUPK menentukan beberapa
hal tentang liability, yang diatur dalam Bab VI Tentang Tanggungjawab Pelaku
Usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang liability
yang terdapat dalam Bab Tanggungjawab Pengusaha atau Produsen merupakan persamaan
dari asas product liability.
Pasal 2 UUPK
mengisyaratkan agar perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan atas 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional :
1.
Asas
manfaat : yang mengamanatkan agar segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2.
Asas
keadilan : dimaksudkan agar partisipasi masyarakat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil;
3.
Asas
Keseimbangan : untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual;
4.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen : dimaksudkan untuk memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian,
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5.
Asas
kepastian hukum : baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Dalam UUPK terdapat 3
(tiga ) Pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum
perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal
19 UUPK merumuskan tanggung jawab produsen/pelaku usaha sebagai
berikut :
a. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
b. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nlainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
23 UUPK adalah produsen tidak membayar ganti kerugian dalam
batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi
konsumen untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pasal
28 UUPK yang berbunyi sebagai berikut: “Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha”. Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian
terbalik.
Lahirnya UUPK tidak bisa menjadi
tolok ukur keberhasilan perlindungan konsumen, namun sejauh mana implementasi
peraturan perundangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen itu
dilaksanakan, ditegakkan secara tegas dan dikontrol pelaksanaannya.
Pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan hak warganya yang
sebenarnya adalah konsumen.
Pasal
20 UUPK mengharuskan pelaku usaha untuk bertanggung jawab
atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang timbul oleh iklan yang
dibuat. Sering kali iklan produk yang dibuat terkesan menyesatkan karena
produk-produk yang dipasarkan ada kalanya tidak sesuai dengan yang ditawarkan.
Pasal
4 UUPK adalah hak konsumen mendapatkan produk yang baik
sehingga pelaku usaha harus memberikan produk yang berkualitas.
Dalam UUPK Pasal 45 Bab X. Disebutkan bahwa
sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam
pasal 45 tersebut antara lain:
a. Adanya
kerugian yang diderita oleh konsumen
b. Gugatan
dilakukan terhadap Pelaku Usaha
c. Dilakukan
melalui pengadilan.
Untuk saat sekarang ini Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) masih belum menunjukan adanya keberpihakan dan
terakomodasinya keluhan-keluhan konsumen. Lemahnya pelaksanaan Undang-Undang
Pelindungan Konsumen ternyata telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis global
dan pelaku usaha nasional untuk menjual produksinya yang unsafe dan understandard.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan lemahnya dan tidak memadainya pendidikan
konsumen terhadap akibat buruk dari penggunaan barang-barang yang tidak aman
dan dibawah standar. Oleh karena itu, semua pihak menginginkan penegakan hokum perlindungan
konsumen yang sebaik-baiknya. Semestinya korporasi harus mewujudkan
perlindungan konsumen sebagai strategi untuk menarik simpati konsumen termasuk agar
produk yang di hasilkan dapat diterima oleh konsumen. Apa yang terjadi selama
ini di Indonesia justru bertolak belakang dari idealisme tersebut, setiap kali
kita menyaksikan tindakan-tindakan korporasi yang melanggar hukum dan merugikan
rakyat banyak korporasi (pengusaha) hampir selalu tidak tersentuh oleh hukum,
banyak kasus yang telah terjadi seperti kasus biskuit beracun, kasus ajinomoto,
kasus keracunan obat, dan lain-lain, yang jelas-jelas telah mencuat
kepermukaan, namun terkesan birokrasi pemerintah membiarkan dalam arti tidak
mengambil tindakan terhadap korporasi yang merugikan masyarakat, bahkan
membantah, tidak mengklarifikasi, menutupi, kurang bukti atau seakan-akan
mengambil tindak namun tidak ada kelanjutannya.