Get me outta here!

Jumat, 09 April 2021

Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau dapat disingkat UUPK. UUPK ini memuat aturanaturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Adapun tujuan dari UUPK sendiri yang termuat pada Pasal 3 yang pada intinya adalah meningkatkan kesadaran konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha.

Pengertian konsumen menurut UUPK, adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Sedangkan istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris producer yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha. Batasan mengenai yang dimaksud dengan pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3 UUPK.

UUPK menentukan beberapa hal tentang liability, yang diatur dalam Bab VI Tentang Tanggungjawab Pelaku Usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang liability yang terdapat dalam Bab Tanggungjawab Pengusaha atau Produsen merupakan persamaan dari asas product liability.

Pasal 2 UUPK mengisyaratkan agar perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan atas 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional :

1.      Asas manfaat : yang mengamanatkan agar segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

2.      Asas keadilan : dimaksudkan agar partisipasi masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil;

3.      Asas Keseimbangan : untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;

4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen : dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5.      Asas kepastian hukum : baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


Dalam UUPK terdapat 3 (tiga ) Pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 19 UUPK merumuskan tanggung jawab produsen/pelaku usaha sebagai berikut :

a.       Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nlainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23 UUPK adalah produsen tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pasal 28 UUPK yang berbunyi sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian terbalik.

Lahirnya UUPK tidak bisa menjadi tolok ukur keberhasilan perlindungan konsumen, namun sejauh mana implementasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen itu dilaksanakan, ditegakkan secara tegas dan dikontrol pelaksanaannya. Pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan hak warganya yang sebenarnya adalah konsumen.

Pasal 20 UUPK mengharuskan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang timbul oleh iklan yang dibuat. Sering kali iklan produk yang dibuat terkesan menyesatkan karena produk-produk yang dipasarkan ada kalanya tidak sesuai dengan yang ditawarkan.

Pasal 4 UUPK adalah hak konsumen mendapatkan produk yang baik sehingga pelaku usaha harus memberikan produk yang berkualitas.

Dalam UUPK Pasal 45 Bab X. Disebutkan bahwa sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 45 tersebut antara lain:

a.       Adanya kerugian yang diderita oleh konsumen

b.      Gugatan dilakukan terhadap Pelaku Usaha

c.       Dilakukan melalui pengadilan.

 

Untuk saat sekarang ini Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) masih belum menunjukan adanya keberpihakan dan terakomodasinya keluhan-keluhan konsumen. Lemahnya pelaksanaan Undang-Undang Pelindungan Konsumen ternyata telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis global dan pelaku usaha nasional untuk menjual produksinya yang unsafe dan understandard. Kondisi ini semakin diperburuk dengan lemahnya dan tidak memadainya pendidikan konsumen terhadap akibat buruk dari penggunaan barang-barang yang tidak aman dan dibawah standar. Oleh karena itu, semua pihak menginginkan penegakan hokum perlindungan konsumen yang sebaik-baiknya. Semestinya korporasi harus mewujudkan perlindungan konsumen sebagai strategi untuk menarik simpati konsumen termasuk agar produk yang di hasilkan dapat diterima oleh konsumen. Apa yang terjadi selama ini di Indonesia justru bertolak belakang dari idealisme tersebut, setiap kali kita menyaksikan tindakan-tindakan korporasi yang melanggar hukum dan merugikan rakyat banyak korporasi (pengusaha) hampir selalu tidak tersentuh oleh hukum, banyak kasus yang telah terjadi seperti kasus biskuit beracun, kasus ajinomoto, kasus keracunan obat, dan lain-lain, yang jelas-jelas telah mencuat kepermukaan, namun terkesan birokrasi pemerintah membiarkan dalam arti tidak mengambil tindakan terhadap korporasi yang merugikan masyarakat, bahkan membantah, tidak mengklarifikasi, menutupi, kurang bukti atau seakan-akan mengambil tindak namun tidak ada kelanjutannya.